Dalam
hidupnya, Khalifah Umar senantiasa memegang teguh amanat yang
diembankan rakyat di pundaknya. Pribadi Umar yang begitu mulia terdengar
dimana-mana. Seluruh rakyat sangat menghormatinya. Rupanya, cerita
tentang keagungan Khalifah Umar ini terdengar pula oleh seorang raja
negara tetangga. Raja tertarik dan ingin sekali bertemu dengan Umar.
Maka
pada suatu hari dipersiapkanlah tentara kerajaan untuk mengawalnya
berkunjung ke pemerintahan Umar. Ketika raja itu sampai di gerbang kota
Madinah, dilihatnya seorang lelaki sedang sibuk menggali parit dan
membersihkan got di pinggir jalan. Lalu, di panggilnya laki-laki itu.
“Wahai saudaraku!” seru raja sambil duduk di atas pelana kuda
kebesarannya. “Bisakah kau menunjukkan di mana letak istana dan
singgasana Umar?” tanyanya kemudian.
Lelaki itu segera
menghentikan pekerjaannya. Lalu, ia memberi hormat. “Wahai Tuan, Umar
manakah yang Tuan maksudkan?” si penggali parit balik bertanya.” Umar
bin Khattab kepala pemerintahan kerajaan Islam yang terkenal bijaksana
dan gagah berani,” kata raja. Lelaki penggali parit itu tersenyum. “Tuan
salah terka. Umar bin Khattab kepala pemerintahan Islam sebenarnya
tidak punya istana dan singgasana seperti yang tuan duga. Ia orang biasa
seperti saya,” terang si penggali parit,”. “Ah benarkah? Mana mungkin
kepala pemerintahan Islam yang terkenal agung seantero negeri itu tak
punya istana?” raja itu mengerutkan dahinya. “Tuan tidak percaya?
Baiklah, ikuti saya,” sahut penggali parit itu. Lalu diajaknya rombongan
raja itu menuju “istana” Umar.
Setelah berjalan
menelusuri lorong-lorong kampung, pasar, dan kota, akhirnya mereka tiba
di depan sebuah rumah sederhana. Diajaknya tamu kerajaan itu masuk dan
dipersilakannya duduk.
Penggali parit itu pergi ke
belakang dan ganti pakaian. Setelah itu ditemuinya tamu kerajaan itu.
“Sekarang antarkanlah kami ke kerajaan Umar!”kata raja itu tak sabar.
Penggali parit tersenyum. “Tuan raja, tadi sudah saya katakan bahwa Umar
bin Khattab tidak mempunyai kerajaan. Bila tuan masih juga bertanya di
mana letak kerajaan Umar itu, maka saat ini juga tuan-tuan sedang berada
di dalam istana Umar!” Hah?!” Raja dan para pengawalnya terbelalak.
Tentu saja mereka terkejut. Sebab, rumah yang di masukinya itu tidak
menggambarkan sedikitpun sebagai pusat kerajaan. Meski rumah itu tampak
bersih dan tersusun rapi, namun sangat sederhana.
Rupanya
raja tak mau percaya begitu saja. Ia pun mengeluarkan pedangnya. Lalu
berdiri sambil mengacungkan pedangnya. “Jangan coba-coba menipuku!
Pedang ini bisa memotong lehermu dalam sekejap!” ancamnya melotot.
Penggali parit itu tetap tersenyum. Lalu dengan tenangnya, ia pun
berdiri.” Di sini tidak ada rakyat yang berani berbohong. Bila ada, maka
belum bicara pun pedang telah menebas lehernya. Letakkanlah pedang
Tuan. Tak pantas kita bertengkar di istana Umar,” kata penggali parit.
Dengan tenang ia memegang pedang raja dan memasukkannya kembali pada
sarungnya.
Raja terkesima melihat keberanian dan
ketenangan si penggali parit. Antara percaya dan tidak, dipandanginya
wajah penggali parit itu. Lantas, ia menebarkan kembali pandangannya
menyaksikan “istana” Umar itu. Muncullah pelayan-pelayan dan
pengawal-pengawal untuk menjamu mereka dengan upacara kebesaran. Namun,
raja itu belum juga percaya. “Benarkah ini istana Umar?”tanyanya pada
pelayan-pelayan. “Betul, Tuanku, inilah istana Umar bin Khattab,”
jawab
salah seorang pelayan. “Baiklah,” katanya. Raja memang harus
mempercayai ucapan pelayan itu. “Tapi, dimanakah Umar? Tunjukkan padaku,
aku ingin sekali bertemu dengannya dan bersalaman dengannya!” ujar sang
raja.
Dengan sopan pelayan itu pun menunjuk ke arah
lelaki penggali parit yang duduk di hadapan raja.” Yang duduk di hadapan
Tuan adalah Khalifah Umar bin Khattab” sahut pelayan itu. “Hah?!” Raja
kini benar-benar tercengang. Begitu pula para pengawalnya. “Jad…jadi,
anda Khalifah Umar itu…?” tanya raja dengan tergagap.
Si
penggali parit mengangguk sambil tersenyum ramah. “Sejak kita pertemu
pertama kali di pintu gerbang kota Madinah, sebenarnya Tuan sudah
berhadapan dengan Umar bin Khattab!” ujarnya dengan tenang. Kemudian
raja itu pun langsung menubruk Umar dan memeluknya erat sekali. Ia
sangat terharu bahkan menangis melihat kesederhanaan Umar. Ia tak
menyangka, Khalifah yang namanya disegani di seluruh negeri itu,
ternyata rela menggali parit seorang diri di pinggir kota. Sejak itu,
raja selalu mengirim rakyatnya ke kota Madinah untuk mempelajari agama
Islam.
0 Response to "KETELADANAN UMAR BIN KHATTAB"
Posting Komentar