Cara Kerja Paytren

Follow on G+

TENTANG JILBAB



Lima bungkus Dadar Guling dihidangkan di warung kopi. Perbincangan hangat dimulai.

“Kyai, kenapa sih masih ngotot wanita harus pake jilbab?”
“Lha, kok sampeyan nanya gitu?”
“Jilbab itu kan, budaya Arab?”
“Lha, kok sampeyan bisa bilang gitu?”
“Kenyataannya begitu.”
“Terus, kalo saya bilang jilbab itu syari’at, sampean mau apa?”
“Jilbab itu kan dipake khusus buat shalat atau ke pengajian. Kalau di tempat umum ya mesti dibuka. Bego aja kebalik-balik.”


“Itu kan kata sampeyan. Saya aja engga ngotot sampeyan sebut jilbab sebagi budaya Arab.”
“Pakaian
itu penggunaannya bersifat situasional. Kalau mau pergi mengaji ya
pakai jilbab. Kalau mau berenang ya pakai baju renang. Masa renang pake
mukena. Segampang itu kok nggak paham.”
“Emang, siapa yang berenang pake mukena?”
“Itu kan tamsil. Masing-masing pakaian ada tempatnya.”
“Astaghfirulllah.
Eh, sampeyan boleh tidak setuju kalo jilbab itu bukan syari’at.
Silahkan saja isteri dan anak-anak gadis sampeyan disuruh telanjang juga
masa bodoh. Itu hak sampeyan. Tapi sebagai muslim terpelajar, omongan
sampeyan justeru seperti orang yang tidak pernah “makan bangku”
sekolahan.”
“Rata-rata orang yang berpikiran kolot emang kaya gitu. Pemikirannya bukan level saya.”
“Ya
terserah. Lagian, banyak kok orang Islam yang lebih percaya penjelasan
mufassir selevel Imam Al-Qurthubi, Ibnu Katsir, An-Nasafi, AlBaidhowy
atau Abu Su’ud. Ane juga lebih percaya penafsiran sahabat selevel Ibnu
Mas’ud, Ibnu Abbas atau Ibnu Sirin daripada ocehan sampeyan.”
“He he
he ... ya terserah Kyai lah. Jilbab kan hanya bungkus. Yang penting kan
isi dan substansinya. Yang penting jadi orang baik.”

Kyai Adung
mencomot sepotong dari lima potong Dadar Gulir yang masih berbungkus
plastik. Tapi bukan untuk dicaplok dan dikunyah, namun diletakkan lagi
di atas piring hidangan. Beberapa menit kemudian satu dua Laler Ijo
datang dan nemplok di atas Dadar Guling itu. Makin lama, makin banyak
Laler Ijo yang nemplok. Nampak sekali Laler Ijo itu menikmatinya lahap
sekali. Dalam hati, Laler Ijo itu berucap terima kasih kepada orang yang
sudah dengan senang hati membuka bungkus plastiknya. Sebab sejak tadi,
air liur Laler Ijo itu sudah banjir dan cuman ngeces karena setiap kali
dia hinggap di atasnya, bungkus plastiklah yang dihisapnya.

“Monggo,”
kata kyai Adung menawarkan Dadar Guling pada rekannya itu. Tanpa
sungkan, orang itu mengambil satu Dadar Guling yang masih terbungkus
plastik, membuka dan melahapnya.
“Ane bolah tanya,” kata kyai Adung.
“Silahkan,” jawab orang itu mantap.
“Mengapa
sampeyan tidak mengambil Dadar Guling yang sudah saya buka? Kan enak,
sampeyan tinggal caplok tanpa repot membuka bungkusnya dulu.”
“Ih, jijik saya. Masa saya harus makan Dadar Guling yang sudah dikerubungi Laler Ijo? Kyai saja kalo berkenan.”
“Loh, apa salahnya? Plastik kan hanya sebatas bungkusan. Yang penting kan isi dan substansinya!”
“Ini kan pilihan saya. Saya merasa aman dengan Dadar Guling yang masih ada bungkusnya.”
“Nah,
kalo begitu, biarkan orang-orang yang pake jilbab itu menjalankan
pilihannya. Ndak usah dibilang bego dan kebalik-balik. Lha urusan Dadar
Guling saja, sampeyan demen yang masih rapet!”

Twew!

Orang
itu merasa omongannya nemplok ke mukanya sendiri. Dia nampak kikuk
logiknya dibalikin logika kyai Adung. Buru-buru dia meraih lagi Dadar
Guling yang masih tersisa. Barangkali untuk menutupi rasa kikuknya. Tapi
naas, tiga buah dadar Guling yang masih terbungkus plastik sudah pindah
di genggaman Kyai Adung. Sementara tangannya sudah terlanjur mencomot
Dadar Guling telanjang yang sudah dikerubungi Laler Ijo.

Kekekekek,
dasar jail. Kyai Adung malah siul-siul terus mengunyah Dadar Guling,
menyeruput kopi pesanannya dan pura-pura tidak tahu aksi orang di
sampingnya itu.

0 Response to "TENTANG JILBAB"

Posting Komentar