Cara Kerja Paytren

Follow on G+

Rama, Jean, dan Perjuangan Hidup

Kecenderungan hanya menggerutu dan mengeluh bisa jadi merupakan

isyarat sebenarnya dari semangat yang kerdil dan kebodohan

seseorang."

– Lord Jeffrey, Scottish judge, 1773 - 1850



NAMANYA Eko Ramaditya Adikara. Ia seorang blogger, penulis,

jurnalis, dan juga game music composer. Pekerjaan yang nampaknya

biasa saja. Karena toh banyak orang yang melakukan hal yang sama.

Menjadi tidak biasa, karena Rama, begitu panggilan akrabnya,

menjalani semua tugasnya dalam keadaan buta. Rama merupakan seorang

tunanetra. Dalam blognya, ia menyebut dirinya sebagai the Indonesian

blind blogger. Rama mampu menulis artikel di atas papan ketik

komputer enam puluh kata per menit. Kemampuan yang setara dengan

kemampuan tukang ketik profesional. Lantas bagaimana caranya Rama

dapat membaca pesan atau teks yang ada di layar monitornya? Dengan

kemajuan teknologi yang semakin canggih, Rama dapat membaca teks di

layar monitor dengan menggunakan aplikasi pembaca layar bernama

JAWS. Dengan piranti lunak tersebut, Rama dapat mendengar suara yang

dikeluarkan. Piranti lunak tersebut mengubah teks menjadi suara atau

text to auto speech. Bila Rama ingin membaca suatu buku, Rama akan

memindai atau menscanning terlebih dahulu halaman demi halaman buku

tersebut, lalu diubah ke dalam bentuk teks. Rama memang dilahirkan

buta sejak lahir. Cacat yang dideritanya tak menghalanginya untuk

tetap melakukan aktifitas kesehariannya seperti layaknya orang

normal yang dapat melihat. Bahkan Rama terlecut untuk terus

berkreatifitas. Rama bahkan telah berhasil menerbitkan buku yang

ditulisnya sendiri.



NAMANYA Jean-Dominique Bauby. Pria asal Perancis, lebih dikenal

sebagai jurnalis, penulis, dan editor Majalah Elle, majalah fesyen

terkemuka terbitan Perancis. Maret 1997, Jean meninggal dunia dalam

usia 45 tahun. Tahun 1995, dalam usianya yang terbilang muda, 43

tahun, Jean terkena stroke. Suatu penyakit yang dikenal dengan nama

Locked-in Syndrome. Jean tak sadarkan diri selama 20 hari setelah

stroke menyerangnya. Ketika terbangun, Jean tak dapat menggerakkan

seluruh tubuhnya. Termasuk menelan ludah pun Jean tak mampu. Ia

hanya dapat menggerakkan satu bagian tubuhnya, yaitu mengedipkan

mata kirinya. Walau Jean mengalami lumpuh total, tapi ia masih dapat

berpikir dengan jernih. Sebelum meninggal, ia telah menyelesaikan

memoarnya yang berjudul 'Le scaphandre et le papillon' atau dalam

versi Inggrisnya, 'The Diving Bell and The Butterfly'. Bagaimana ia

dapat menulis sementara seluruh tubuhnya tak dapat bergerak? Dalam

menyusun bukunya tersebut, Jean berkomunikasi dengan perawatnya,

Henriette Durand. Ia akan memilih huruf dan tanda baca yang akan

dipilihnya dengan mengedipkan mata kirinya. Diperlukan sekitar 200

ribu kedipan mata kiri untuk menyelesaikan buku tersebut. Untuk

setiap huruf yang dipilih, dibutuhkan rata-rata sekitar 2

menit. 'The Diving Bell and The Butterfly' dalam edisi Bahasa

Perancis diluncurkan Maret 1997. Dan hanya dalam waktu satu minggu,

telah terjual lebih dari 150 ribu eksemplar. Sepuluh hari setelah

bukunya dipublikasikan, Jean menghembuskan nafas terakhirnya akibat

pneumonia.



Benang merah apa yang dapat ditarik dari dua kisah di atas? Rama dan

Jean memang memiliki keterbatasan. Tetapi tidak berarti bahwa dengan

keterbatasan yang ada, kehidupan lantas terhenti. Adanya masalah dan

juga keterbatasan, membuktikan bahwa kehidupan ada dan terus

berjalan. Paul Gordon Stoltz dalam bukunya `Adversity Quotient,

Turning Obstacles Into Opportunities' , mengatakan bahwa seseorang

manusia yang tangguh dapat dilihat dari daya tahannya ketika

mendapatkan masalah dan seberapa tangguh mereka menghadapi masalah

tersebut. Inilah yang disebut dengan adversity quotient.



Apa yang dilakukan oleh Rama dan Jean menunjukkan bahwa mereka tidak

tinggal diam atas segala keterbatasan yang dimiliki. Itulah yang

harus kita lakukan bila mendapati masalah. Hadapi. Dan cari solusi

yang terbaik. Bukan dengan mengeluh. Mengeluh dalam batasan-batasan

tertentu bisa jadi merupakan hal yang manusiawi. Tetapi apakah

mengeluh merupakan suatu solusi?



So, betapapun sulitnya masalah yang menimpa kita dan betapapun

hebatnya krisis global yang melanda negeri ini, kita harus siap

untuk menghadapinya. Kualitas hidup seseorang juga akan terlihat

bagaimana ia mengatasi masalah tersebut. Oleh karena itu, hadapi dan

selesaikan segala persoalan yang menghadang. Rama dan Jean dengan

keterbatasannya, mampu melakukan sesuatu yang berguna, bahkan

berprestasi. Nah pertanyaannya, bila mereka mampu, bukankah kita

juga, minimal, mampu melakukan hal yang sama? Bahkan mungkin lebih

dari mereka. Ya, why not. (011208)



Sumber: Rama, Jean, dan Perjuangan Hidup oleh Sonny Wibisono,

penulis, tinggal di Jakarta

0 Response to "Rama, Jean, dan Perjuangan Hidup"

Posting Komentar